![]() |
Manaek Hutabarat Pegawai Kemeterian Agraria dan Tata
Ruang, Kantor Pertanahan Kabupaten Karo
|
Sejak
diundangkan tahun 1960 pada masa Pemerintahan Sukarno, tepatnya tanggal 24
September 1960 sebuah UU yang bernama UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang biasa disebut UUPA. Warna ketegasan bung Karno dan elit bangsa memutus
rasa kolonialisme lewat UUPA menempatkan masyarakat adat sebagai pemilik
agraria. Hukum adat menjadi dasar hukum tanah nasional. Masih belum lama HUT
UUPA, kembali memori kolektif rakyat khususnya masyarakat adat yang jauh dari
keadilan agraria menyakini konstitusi telah menjamin keadilan agraria lewat
Reforma Agraria.
Pemerintahan
Jokowi dengan nawacitanya telah meraba target 12, 5 juta ha. Rakyat perlu
keadilan setelah dikriminalisasi dalam kawasan hutan. Maraknya konflik
masyarakat adat yang selalu dimenangkan pemodal yang baru masuk 1 hari
mengalahkan komunitas adat yang bermukim lebih tua dari usia Republik
Indonesia. Presiden Jokowi bukan bagian masa lalu yang merampas tanah ulayat
akibat kebijakan rezim Orba yang welcome dengan pemodal. Bahkan stigma komunis
kerap dikenakan bagi rakyat yang memperjuangkan hak agrarianya. Sekali lagi
rakyat kalah tapi harapan itu kembali muncul dengan Jokowi jadi presiden.
Konstitusi sudah ada, program pemerintah Jokowi tersedia lalu pertanyaan kenapa
masih belum dirasakan masyarakat adat secara massif?
Ada
yang salah dalam manajemen pemerintahan, bahkan masuknya WWF membingungkan, semoga
para pembantu presiden, baik jajaran Menko ekuin dan Kantor Staf Kepresiden
bisa bersinergi.
Komitmet
Jokowi harus dijawab kerja keras oleh kementerian ATR/BPN untuk merealisasikan
hak ulayat dengan mendaftar hak ulayat bagi komunitas masyarakat adat yang
hidup pada teritorial tertentu. Jika bersinggungan dengan kehutanan maka
diharapkan Menteri LHK bisa segera melepaskan kawasan hutan yang didiami oleh
masyarakat hukum adat dilanjutkan sertipikasi berupa pengakuan hak. Ini murni
teknis dan dapat direalisasikan jika para menteri dan jajaran tidak melalukan
pembangkangan pada Presiden Jokowi.
Dengan
percepatan pendaftan hak ulayat milik masyarakat adat tentu mempersempit
konflik agraria dan melampui cakupan luasan sertipikasi PTSL. Lebih cepat
mendaftar jumlah bidang tanah wilayah Indonesia daripada sertipikasi
konvensional bahkan wilayah hutan harus didaftar paska dilepaskan kepada
masyarakat adat. Jika sulit maka kementerian ATR/BPN dikasih kewenangan
mengelola 100% tanah termasuk kehutanan masuk ke kementerian ATR/BPN.
Harapan
saya, presiden Jokowi mampu mempercepat pendaftaran hak ulayat milik masyarakat
adat sekaligus menjamin keadilan agraria dengan pelepasan kawasan hutan,
penyelesaian konflik masyarakat adat dengan HGU, Tambang dan pengembang kemudian
ditata dan didaftarkan.
Ini
lebih cepat dan murah daripada sertipikasi PTSL. Reforma Agraria akan mendapat
partisipasi luar biasa masyarakat adat daripada PTSL bahkan swadaya masyarakat
adat mampu menjawab agar tidak membebani APBN bahkan menstop hutang ke luar
negeri.
Saatnya
rakyat menikmati 1 meter hasil Reforma Agraria. Bahkan bila perlu Presiden
Jokowi menata pejabat2 Kementerian ATR/BPN khususnya para kepala kantor BPN
kabupaten yang banyak wilayah masyarakat adatnya agar maksimal menjalankan reforma
agraria 12, 5 juta ha ditambah memastikan kehutanan mendaftar kawasan hutan
agar tak timpang tindih dengan hak ulayat milik masyarakat adat.
Merdeka
100% jika semua hak ulayat telah didaftarkan paska Reforma Agraria.
Penulis
Manaek Hutabarat, S.Kom, SE, M.Si, Praktisi Agraria di Kantor
Kemeterian Agraria dan Tata Ruang, Kantor Pertanahan Kabupaten Karo
Sumber : http://www.indeksberita.com/reforma-agraria-tanah-ulayat-masyarakat-adat/